Kepareng matur dumateng Pakde Sak Keluargo. Kaping sepindah kulo atas nami keluargo kalian rencang-rencang meniko ngaturaken kawilujengan Pak Dhe sak keluargo. Kaping kalih gandeng meniko dinten riyadi, dinten engkang sae kangge nglebur doso, pramilo kulo kalian rencang-rencang nyuwun pangapunten, mbok bilih ing setunggal tahun kepungkur meniko kulo kalian rencang-rencang, nggadahi kalepatan sae engkang dipun sengojo menopo kang mboten dipun sengojo, kulo nyuwun pak de kerso-o maringi pangapunten. Mekaten atur kulo.
He ... he ... tulisan di atas bukanlah mantra lho. Itu adalah kata-kata, kalimat yang harus di hafal sebelum kita berkunjung ke tempat saudara, kerabat, tetangga saat hari raya idul fitri. Mungkin agak berbeda dengan beberapa tempat lain kan. Jadi kalau datang, tidak boleh langsung salaman, ngucapkan mohon maaf, makan-minum, dapat angpao. Tapi salaman, senyum-senyum dikit, duduk, nunggu giliran ditanggapi, baru dipersilahkan makan. Eh ... waktu duduk-duduk kita berdebat dulu, giliran siapa yang harus "matur" nih. Kadang sebelum masuk rumah diputuskan giliran siapa yang harus "matur" tersebut.
Nah lain lagi jika rombongan kita adalah saudara kandung, meskipun beberapa sudah berkeluarga, maka yang kebagian tugas untuk "matur" adalah yang paling tua. Tidak ganti-ganti, kan juru bicara keluarga. Jika rombongan dengn teman-teman sebaya, ya bergantian tadi. Seru juga, kadang ada yang bawa catatan, lha belum hafal je.
Serunya lagi, kalau dengan teman-teman adalah wilayah jelajahnya jadi sangat luas. Jadi biar kita tidak kenal karena yang kita kunjungi adalah Temannya - Teman, kita tetap iya terus. Pernah suatu saat karena grogi, mungkin tidak ingat nama tuan rumahnya, saya dan teman-teman tidak mampu menahan tawa, jadi tertawa terus dari mulai masuk sampai keluar lagi. Makanya dahulu Idul Fitri itu ramainya sampai tiga hari. Karena yang dikunjungi banyak. Jadi tidak aneh kalau pintu rumah dibuka lebar-lebar sampai 3 malam.
Seingat saya makanan wajib yang "pasti" tersedia di setiap rumah adalah "apem yang digoreng" apem yang di "dang"(dikukus), rempeyek, kacangbawang, kacangtelur, dll, pokoknya tradisional sekali. Tidak ada nastart, kue mentega, kue cubit, dll. Dulu saya kebagian nggoreng apem seharian. Ketupat? Rasanya di tempat saya kurang membudaya. Jadi ya itu yang dimakan, dan lagi kebiasaan memberi uang jarang di temui kala itu.
Pada hari kedua, giliran sebagian keluarga, kadang bapak ibu pergi juga, sehingga harus ada yang jaga rumah. Kalu jaga biasa sih tidak masalah. Yang jadi masalah adalah kalau harus menanggapi tamu yang "matur". Karena lucu, jadi sering malah tertawa-tawa bersama-sama.
O .. satu lagi nih. Biasanya kita sebelum bersalaman dan bermaafan dengan saudara, harus dengan bapak-ibu dahulu. Nah inilah yang susah "matur" nya jadi susah sekali. Makanya biasanya habis sholat dilapanagan trus pulang, makan-makan dahulu. Nunggu kakak paling tua dan keluarganya sungkem sama babak ibu, kami adik-adik nebeng saja, tidak perlu "matur" sendiri.
Beberapa tahun belakangan ini, "perayaan" seperti itu sudah sangat berkurang. "Acaranya" rupanya sudah diganti, mungkin "dimoderenkan". Setelah sholat di lapangan desa, trus pulang sebentar, minum-minum sedikit kemudian kembali ke masjid atau mushola untuk "bermaafan" dengan seluruh warga desa. Disini lebih enak karena ada yang mewakili, tinggal amin-amin saja. Biasanya ada perwakilan dari pemuda, masyarakat, perangkat desa, takmir masjid. Disini pula kita ketemu dengan para perantau. Nah karena sudah ketemu, jadi acara "matur" sudah sangat jauh menyusut, atau mungkin "menyublim" ya. Yah itulah peradaban. Tidak ada yang abadi. Inilah yang akan saya ceritakan kepada anak cucuku kelak. Merekapun akan saya ajari "matur" setidaknya untuk bekal berkujung ke saudara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar